Untuk pertama kali, dalam tiga puluh dua tahun kehidupannya, perempuan itu merebahkan tubuh di sebuah ranjang rumah sakit. Ini pertama kalinya pula ia mengenakan baju khusus pasien rumah sakit. Rasanya sangat aneh. Baginya, ini bukan baju. Dengan warna hijau kusam, berlengan pendek, tidak ada kancing. Sebagai gantinya, dua pita yang bisa di talikan pada bagian belakang. Membuatnya risih. Lengan perempuan itu sudah terhubung dengan selang infus, sementara di lengan satunya lagi, melingkar gelang berbahan plastik berwarna merah muda, dengan sebuah kode. Mengingatkannya pada gelang bayi baru lahir.
Di hadapannya, sebuah gordyn warna hijau muda, membatasi ruangan untuk dirinya, dengan ruangan sebelah. Kamar yang ia tempati berukuran 5×5 meter persegi, terbagi menjadi dua bagian untuk dua pasien, dengan satu ruang toilet.
Ia mencoba memejamkan mata, mencoba menyadari dan menerima kenyataan, bahwa ia memang harus berada disini. Untuk dirinya, untuk tubuhnya. Saat ini hanya untuk dirinya. Tidak boleh ada pikiran tentang ibunya yang sedang sakit menua di rumah, tidak juga ada pikiran tentang suaminya, yang sudah bertahun-tahun hidup sebagai diabetesi. Apalagi pikiran tentang pekerjaan. Semua tidak boleh singgah di kepalanya. Karena saat ini, seperti kata sahabatnya yang mengantarkannya tadi, adalah benar-benar untuk dirinya. Sepertinya ini hal yang mudah untuk dilakukan. Sepertinya! Mungkin mudah untuk orang lain. Tetapi, tidak untuk dirinya.
Nyatanya, saat aroma khas rumah sakit itu ia hirup, perlahan tetapi pasti, pikiran-pikiran yang seharusnya tidak boleh ada itu, malah merambati batang otaknya. Seolah memberi komando kepada segenap sel neuronnya, untuk menampilkan bayang ibunya, bayang suaminya, bayang tugas-tugas kantornya.
Beberapa bulan yang lalu, Isti, begitu perempuan itu biasa dipanggil, terduduk lesu pada anak tangga terakhir di rumahnya. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan, melipat tubuhnya, hingga perutnya menempel pada pahanya, dan dahinya menempel pada lutut. Ia menahan isak yang muncul. Saat itu, hari baru saja berganti, dan ia belum juga bisa tidur. Tangga itu berada di antara dua kamar, kamar tempat suaminya tidur dan kamar tempat ibunya tidur. Tidak mungkin ia menangis di dua kamar itu. Anak tangga terakhir inilah, tempat yang dipilihnya untuk menangis. Ia merasa lelah merawat dua orang yang sama-sama ia cintai. Dua orang yang sama-sama saling tidak menyukai satu sama lain. Dua orang yang sama-sama bergantung padanya.
Ibunya tidak pernah menyetujui pernikahan Isti dan mas Alif. “Anak ibu pantas mendapatkan yang lebih baik!” itu saja alasan ibu. Tanpa penjelasan rinci Isti menyadari, apa yang dimaksud ibunya dengan ‘lebih baik’. Lebih sehat, mungkin juga lebih ganteng lebih mapan, dan banyak yang harus ‘lebih’. Kenyataannya, ia jatuh cinta, pada seorang diabetesi, yang hidup bertopang kaki yang tidak lagi aseli. Tetapi siapa yang bisa menyetir perasaan cinta? Ia bisa tumbuh tiba-tiba, menambatkan akarnya, dimana saja, tanpa diminta.
Isti mencintai mas Alif, apapun dan bagaimanapun kondisinya. Ia pernah berjanji pada Tuhan, jika Tuhan mengirimkan laki-laki untuknya, maka, ia akan mengabdi. Sepenuh-penuhnya mengabdi. Karena ia tahu, tujuan pernikahan, bukanlah untuk mendapat sambutan dan tepuk tangan riuh para undangan. Siapa pasangannya, sama sekali tidak bisa diartikan apakah ia berprestasi atau tidak dalam kehidupan. Isti meyakini, pernikahan, memberinya jalan untuk mendapat ridho dari suami, yang akan menuntunnya ke surga ilahi. Tugasnya, untuk membuat ibu mengerti.
Isti menahan napas. Pikiran-pikiran tentang hubungan ibu dan mas Alif selalu membuatnya pilu.
“Kamu tidur saja disini, nduk. Ibu sering kehausan saat malam,” pinta ibunya tadi. Akhir-akhir ini, ibunya memang begitu. Entah karena pengaruh osteoporosis yang diderita atau tidak, yang jelas, ibunya sering merasa haus di tengah malam. Tentu saja ibu perlu bantuan. Untuk bangun dari posisi tidur saja, ibu sudah kesulitan. Isti sungguh sangat ingin memenuhi secara penuh permintaan ibunya. Tetapi di kamar sebelah, suaminya juga sangat membutuhkannya. Baru kemarin keluar rumah sakit karena hipoglikemi parah yang membuat Isti terpaksa harus belajar memberikan sendiri suntikan glucagon pada suaminya. Padahal, melihat jarum suntik, adalah hal yang sangat Isti benci. Akhirnya ia mengiyakan permintaan ibunya, dan berterus terang, setengah jam setelah ini, ia harus mengecek kondisi mas Alif, suaminya, di kamar sebelah. Mendengar rencananya, ibunya mengangguk dengan wajah masam.
Empat puluh menit berikutnya, setelah ibunya tertidur, Isti mengendap-endap keluar kamar, untuk menuju kamar sebelah. Isti bersyukur karena mas Alif ternyata juga tidur dengan dengkuran halus. Padahal, beberapa jam sebelumnya, mas Alif sangat gelisah. Isti harus bolak balik menyeka keringat, mengganti baju tidur mas Alif karena basah oleh keringat.
Akhirnya Isti keluar, dan duduk pada anak tangga favoritnya. Lelah, karena ia hanya manusia biasa. Tetapi ia merasa, memang ia harus melakukan ini. Menjadi cengeng, sangat tidak diperlukan pada episode kehidupannya ini.
Sekarang, ketika ia harus telentang di rumah sakit ini, siapa yang mengurus ibu dan suaminya? Dua adiknya tidak tinggal satu kota dengannya. Keluarga mas Alif malah tidak tinggal satu pulau. Bagaimana kabar ibu dan mas Alif saat ini? Memang, ada asisten rumah tangga yang secara dadakan Isti sewa khusus untuk merawat ibu, dua hari menjelang ia harus opname. Tetapi, apakah asisten rumah tangga itu telaten? Apakah ia tidak mengomel ketika ibu membangunkannya tengah malam untuk minta minum atau minta antar ke toilet? Apakah asisten rumah tangga itu cukup sabar? Bagaimana pula dengan mas Alif? Bisakah ia mandiri? Apakah ia tidak akan terserang hipoglikemi lagi? Apakah ia tidak akan melewatkan jam makan, yang sangat penting untuk diperhatikan? Apakah mas Alif tidak terlalu banyak minum?
Isti merasakan pipinya tiba-tiba basah. Ia sendiri heran, bagaimana bisa ia membiarkan air mata akhirnya jatuh. Sekali lagi, sikap cengeng tidak diperlukan disini. Ini hanya episode pendek dalam kehidupannya. Masak sih, orang akan berpuasa terus menerus? Pasti ada yang namanya lebaran. Begitupun keyakinannya pada hidupnya. Tidak mungkin ia akan mengalami kesedihan dan carut marut terus dalam kehidupannya. Suatu saat, ia akan berada pada posisi ‘bahagia’.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa. Pikiran tentang pekerjaan yang harus ia tinggalkan, juga ikut menyerang. Besok, akan dimulai acara Festival Kelud. Seharusnya saat ini adalah sibuk-sibuknya Isti, karena dirinya termasuk dalam panitia acara Festival Kelud. Salah satu acara yang seharusnya ia tangani secara penuh adalah ‘Larung Saji Gunung Kelud”. Acara ini, biasa diadakan pada tanggal 10 bulan Suro. Tetapi untuk menarik minat wisatawan, tahun ini Larung sesaji ini diadakan tepat pada hari libur.
Dewi Kilisuci, seorang putri cantik di Kerajaan Kediri, yang kecantikannya ini membuat dua raja dari kalangan bukan manusia, berebut. Lembu Sura dan Mahesa Sura. Sang Dewi Kilisuci yang tidak berkenan menerima lamaran dua raja itu, membuat tipu daya yang dibentuk dalam sayembara. Kedua raja itu harus bisa membuat sebuah sumur berbau amis dan berbau wangi hanya dalam tempo satu malam saja. Tidak disangka, kedua raja itu mampu membuat sumur yang diminta. Tetapi Dewi Kilisuci tidak kekurangan akal. Ia meminta ke dua raja itu menceburkan diri untuk membuktikan apakah sumur itu benar-benar berbau amis dan berbau wangi. Ketika kedua raja itu masuk ke dalam sumur, Dewi Kilisuci memerintahkan anak buahnya untuk menimbun kedua raja dengan batu-batu. Batu-batu itulah yang hingga kini menjadi Gunung Kelud. Sebelum sempat benar-benar tertimbun, Lembu Sura mengucapkan sumpah, bahwa akan ada balasan untuk Kediri.
Berabad-abad sejak legenda itu dituturkan, masyarakat Kediri melaksanakan tradisi Larung Sesaji di kawah Gunung Kelud.
Isti memikirkan hal-hal kecil yang seharusnya tidak ia pikirkan saat ini. Apakah dua tumpeng yang akan disajikan besok, sudah siap? Tumpeng itu berisi nasi putih dan satu tumpeng lagi berisi nasi kuning. Di liputi beragam lauk pauk. Apakah palawija hasil bumi yang akan diarak pada Larung Sesaji ini sudah siap? Rencananya, palawija hasil bumi ini akan diarak mulai dari parkiran para wisatawan Gunung Kelud, hingga mencapai puncaknya. Di satu area terdekat dengan puncak, hasil bumi ini akan dibagikan kepada para warga dengan cara berebut. Ah, Isti selalu menyukai momen itu. Selama kurang lebih dua bulan, ia dan teman-temannya mempersiapkan acara ini. Sebelum akhirnya dokter memaksanya untuk melakukan operasi pengangkatan tumor di payudara kanannya.
Isti menghela napas. Berat. Ia tahan tangannya yang sangat ingin meraba kembali letak benjolan itu. Besok, adalah jadwal operasi pengangkatan benjolan itu. Maka, hari ini, sebetulnya hari perpisahan. Jemari Isti bergerak, menelusuri lekuk dan akhirnya menemukan letak benjolan itu. Tidak ia tekan. Ia hanya merasakan, ini pernah menjadi bagian dari tubuhnya. Apakah nanti benjolan ini benar-benar hanya tumor jinak, atau justru ganas, Isti pasrah.
Kemungkinan besar, besok ia akan sendirian. Tidak ada keluarga yang akan menemaninya sebelum akhirnya masuk ke ruang operasi. Ibu dan mas Alif tidak mungkin bisa datang . Septi, sahabatnya, mungkin akan datang sebentar. Tetapi tidak mungkin bisa menunggui hingga operasi selesai. Jadi, usai operasi, lagi-lagi Isti akan sendiri. Baiklah, ini sama sekali tidak akan apa-apa. Isti terus menguatkan diri. Sendiri, sama dengan tidak apa-apa, kok. Sungguh!
***
Isti membuka matanya. Antara nyata dan tidak. Seperti ada lapisan-lapisan tipis dan semu sebelum matanya bisa benar-benar menangkap dengan jelas apa yang memang ada di hadapannya. Wajah Septi tersenyum. Tergambar raut lega di wajahnya.
“Tidurmu lama sekali. Hampir dua jam pasca operasi,” kata Septi sambil sepintas menengok ke arah jam dinding, lalu mencocokkannya dengan jam tangannya sendiri.
“Dua jam? Sungguh? Kamu menemaniku selama ini? Sendiri? Siapa yang menjemput anakmu usai sekolah? Bukankah ini waktu …” serentetan pertanyaan Isti yang keluar dari bibirnya dengan suara bergetar itu dipotong oleh bisikan septi.
“Ssstt…. bangun-bangun kok langsung cerewet?” Septi tertawa kecil. Tetapi Isti malah cemberut.
“Kamu paling suka membuatku penasaran,” jawab Isti. Kemudian ia menyadari sesuatu. Perlahan ia gerakkan tangannya, lalu meraba bagian tubuhnya, tempat beberapa jam yang lalu masih terdapat benjolan.”sudah hilang.”
Isti memandangi Septi yang berdiri di samping ranjangnya.”Semoga hasil pemeriksaan laboratorium juga melegakan. Kamu istirahat saja dulu. Tadi ibu dan mas Alif menelepon lewat ponselku. Beberapa menit setelah kamu masuk ke ruang operasi. Mereka mendoakan dari rumah. Titip salam untukmu.”
Isti mengangguk. Ia katubkan bibirnya menahan haru. “Mereka baik-baik saja, Is. Sementara ini, kamu harus fokus pada kesehatanmu. Mereka membutuhkan kamu. Kamu harus sehat.”
Isti mengangguk. Tiba-tiba ia merasa sangat lapar. Dan di kepalanya, seketika muncul bayangan tentang bakso, pangsit mie, tahu campur. Ah, semua makanan yang enak-enak kesukaannya.
***
Isti tidak akan melupakan hari ini. Satu hari yang paling ia syukuri. Bukan saja karena ia bisa pulang kembali ke rumah. Tetapi pemandangan di hadapannya, sungguh sesuatu berkah. Septi yang menjemputnya di rumah sakit, membantunya menyelesaikan administrasi. Sesampainya di rumah, ibunya menyambutnya dengan senyum hangat. Duduk di kursi roda, yang persis dibelakangnya, mas Alif berdiri. Nampak jauh lebih segar.
Ibu kemudian meminta tolong pada mas Alif, untuk mengambilkan Isti segelas air minum. Sebuah kalimat permintaan tolong yang ditelinga Isti terdengar sangat merdu. Sikap yang jauh berbeda dengan hari-hari yang lalu, sebelum ia masuk rumah sakit. Isti takjub dengan apa yang dilihatnya. Membaiknya hubungan ibu dan mas Alif, sungguh suatu berkah yang tidak akan ia tukar dengan apapun.
Satu minggu berikutnya, hasil laboratorium atas biopsi benjolannya keluar. Tidak ditemukan sel ganas. Betapa lega hati Isti.
Mungkin, Isti memang butuh istirahat. Jika tidak, bisa-bisa pikirannya tersumbat. Ia akan pandang segala tentang hidupnya, sesuatu yang rumit. Tuhan memberinya benjolan, memberinya sakit. Dan baru kali ini, ia memandang sakitnya, sebagai sebuah berkat. Tuhan menyelesaikan semuanya, ketika ia terbaring di rumah sakit.
Isti tersenyum memandang pemandangan di hadapannya. Ibunya menepuk-nepuk punggung tangan mas Alif. Bahasa tubuh yang sederhana. Tetapi terkesan mahal di hatinya. Tuhan memberikan jeda terindah untuknya.
Penulis : Idah Ernawati